SEBARAN MAKNA DARI KISAH NABI IBRAHIM AS. DAN ISMAIL AS.
Di antara kisah yang viral di dalam al-Qur’anul Karim adalah kisah antara dua insan mulia yakni Nabi Ibrahim As. dan putranya Ismail As. Kisah ini begitu masyhur diketahui khalayak sekaligus menjadi tonggak historis untuk pertama kalinya disyaritatkan ibadah qurban. Berbicara mengenai qurban, tentu tidak dapat dilepaskan dari kisah kedua insan terbaik tersebut. Sebagaimana firmal Allah Swt:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَبُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّبِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣) وَنَدَيْنَهُ أَن يَإِبْرَاهِيمُ (١٠٤ ) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْ يَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاؤُا الْمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيْنَهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ (١٠٨)
“Tatkala anak itu (yakni Ismail) telah sampai (pada usia mampu) berusaha bersama-sama Ibrahim, maka Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ismail menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar.” Ketika keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim telah membaringkan putranya pada pelipis-(nya). (terbuktilah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang- orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar- benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor hewan sembelihan yang besar.’ Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (reputasi yang baik) di kalangan umat manusia yang hidup kemudian.” (QS Ash-Shaffat [37]: 102-108)
Sumber: portaljember.pikiran-rakyat.com
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memetik mutiara hikmah yang begitu berharga. Darinya kita dapat memahami arti kehidupan dan ketaatan kepada dzat yang maha kuasa sejatinya berjalan dengan seiring. Di antara beberapa hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
- Ketaatan Kepada Allah Melebihi Logika dan Nalar Manusia
Manusia sejatinya adalah makhluk yang memiliki akal. Namun sehebat apapun akal manusia tentu memiliki keterbatasan ketika berhadapan dengan perintah dari Allah Swt. Dalam hal ini manusia wajib merendahkan diri di hadapan Allah Swt dengan serendah-rendahnya. Karena terkadang perintah Allah itu di luar ambang batas nalar dan logika manusia. Tugas manusia hanyalah taat. Tanpa perlu memperbanyak kalkulasi, perdebatan, penafsiran, apalagi berspekulasi. Kedua insan terbaik di atas telah mengajarkan kepada kita bahwa jikalau Allah telah memerintahkan sesuatu, maka tugas seorang hamba adalah sami’na wa atho’na.
- Keimanan Tingkat Tinggi
Dalam kisah di atas, Ibrahim As dan putranya Ismail As mempertontonkan secara nyata bahwa mereka memiliki level keimanan yang paripurna. Karena pada dasarnya, untuk mencapai sebuah ketaatan dibutuhkan keimanan yang sangat kuat. Keiamanan yang tidak goyah dengan godaan maksiat dan tipu daya setan. Keimanan yang tidak tergadaikan dengan nalar logika manusia yang serba terbatas.
- Kewajiban Taat kepada Kedua Orang Tua dalam Koridor Syariat
Hikmah selanjutnya yang dapat kita petik dari peristiwa tersebut adalah betapa pentingnya ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya. Apalagi jika ketaatan itu terbingkai dalam koridor syariat. Seorang anak tidak punya alasan untuk tidak mentaati orang tua. Karena ketaatan kepada orang tua merupakan salah satu wujud manifestasi birrul walidain yang sesungguhnya.
- Anak Soleh Hasil Didikan dari Orang Tua yang Soleh
Memiliki keturunan yang soleh dan solehah merupakan dambaan setiap orang tua. Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan karena orang tua akan sangat bahagia bilamana melihat putra putrinya dapat tumbuh dalam kesalehan. Namun tampaknya banyak orang tua yang lalai, bahwasanya untuk mendapatkan generasi yang soleh, dibutuhkan orang tua yang soleh juga. Karena pada dasarnya keluarga adalah pilar utama dalam menentukan kualitas sebuah generasi di masa mendatang.
- Dua Dimensi Ibadah Qurban: Hablum Minallah dan Hablun Minannas
Kisah yang terdapat dalam ayat di atas, merupakan titik awal disyariatkannya ibadah qurban bagi manusia. Qurban secara etimologis adalah mendekatkan diri pada Allah Swt. Namun kita juga tidak boleh lupa, bahwa qurban juga merupakan ibadah yang berdimensi horizontal (hablun minannas). Di mana kita semua ditempa untuk dapat berbagi kebahagiaan kepada sesama, utamanya adalah mereka orang-orang yang membutuhkan
- Allah Tidak Akan Mencelakakan Orang-Orang yang Taat
Kisah di atas secara alamiah dapat memunculkan spekulasi yang bersifat insaniah. Di mana orang dapat saja berpikiran “bagaimana mungkin Allah menyuruh seorang ayah untuk menyembelih putra kesayangannya?” Tidak terlalu salah jika orang menyimpulkan bahwa perintah tersebut tergolong “kejam”.
Sumber: pixabay.com
Namun, spekulasi itu semuanya terbantahkan tatkala pisau Ibrahim As sudah berada di atas leher Ismail As, lalu Allah menebus Ismail As dengan seekor domba yang besar. Kejadian ini mengisyaratkan secara nyata bahwa Allah Swt tidak akan pernah mencelakakan hamban-hamba-Nya yang selalu taat akan perintah-Nya. (YH)