KESAN KESAN SELAMA OUTING CLASS
Muhammad Imam Syaib. Museum ini didirikan di atas bekas kompleks Keraton Mataram Islam masa kekuasaan Raja Amangkurat I. Museum Sejarah Purbakala Pleret tidak hanya memiliki koleksi dari masa Mataram Islam saja, namun juga memiliki koleksi yang berasal dari berbagai zaman yang ditemukan di Kabupaten Bantul. Dalam Situs Cagar Budaya Kedaton-Plered terdapat peninggalan situs. Antara lain pondasi bangunan keraton, saluran air, Benteng Cepuri Keliling Keraton sampai Sumur Gumiling yang berada di halaman museum. Semur Gumiling merupakan salah satu sumber mata air di dalam Keraton Plered, yang pada masanya digunakan untuk jamasan pusaka Keraton. Di area museum ada situs cagar budaya Ratu Malang Gunungkelir. Berada di timur laut Museum Sejarah Purbakala Pleret. Tepatnya berada di Dusun Gunung Kelir, Desa Pleret. Situs ini berada di puncak bukit dengan ketinggian 100 Mdpl. Situs ini merupakan Kompleks Makam Ratu Malang Istri Amangkurat I yang memerintah Mataram Islam sepeninggalan Sultan Agung. Di dalam museum pleret banyak peninggalan bersejarah seperti sumur tua peninggalan dari keraton mataram islam dan juga patung dewa atau dewi ghanesa, kris nampan untuk pemujaan atau sesembahan jaman dulu yang di mana peninggalan tersebeut sebelum islam masuk di kerajaan amangkurat.
Masjid Agung Kauman Pleret dibangun oleh Raja Mataram Islam ke-4 yang berkedudukan di Pleret Bernama Amsngkurat I atau Amangkurat Agung. Serat Babad Momana menyebutkan bahwa pada tahun 1571 Jawa atau sekitar 1649 Masehi adalah waktu pembangunan Masjid Agung Kauman Pleret. Pendapat ini diperkuat oleh yang menyatakan bahwa pendirian Masjid Agung Kauman Pleret juga disebutkan dalam babading Sangkala yaitu pada bulan Muharram tahun 1571 jawa kerusan masjid ini juga di sebabkan Trunajaya memerintahkan untuk menghancurkan keraton tersebut namun Masjid Agung Pleret tidak ikut dihancurkan. Disebutkan pula bahwa Pangeran puger, salah seorang putra Amangkurat I kembali ke Pleret dan berhasil merebut kerajaan dari tangan Trunajaya. Ia tinggal di Pleret hingga tahun 1644 J (1722 Masehi) kemudian pindah ke kartasura. Alasan pemindahan ini adalah karena Keraton Pleret telah ditaklukkan. Dalam filosofi Jawa, ketika sebuah keraton ditaklukkan maka tidak layak lagi untuk ditempati. Sejak saat itu, Keraton Pleret tidak berfungsi lagi. Pada masa kolonial belanda, sekitar tahun 1860-an bekas-bekas bangunan di Pleret diambil batanya untuk membangun Pabrik Gula Kedaton Pleret. Begitu pula dengan bata Masjid Agung Pleret. Bata dan batu masjid tersebut juga diambil untuk membangun pabrik gula. Meskipun demikian, ketika Rouffaer mengunjungi tempat itu pada tahun 1889, ia masih dapat membuat peta sketsa keraton berdasarkan peninggalan-peninggalan yang masih ada. Ia memperkirakan bahwa tembok istana dulu tingginya antara 5–6 m, tebalnya 1,5 m, dan terbuat dari bata. Bagian atasnya di beri penutup berbentuk segitiga yang terbuat dari balok-balok batu putih. Informasi mengenai Masjid Agung kembali diketahui setelah sekitar delapan dekade kemudian yaitu tahun 1940-an. Kala itu jepang tengah menjajah indonesia dan membangun terowongan bawah tanah di kompleks Masjid Agung. Terowongan tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian. Selanjutnya, di wilayah Pleret sebagai bekas Kerajaan Mataram Islam dilakukan beberapa penelitian dan evakuasi.